Ronggowarsito
A.
Biografi
Ronggo Warsito lahir di Surakarta, 10 Dulhijah
1728 H (15 Maret 1802 M) tepat 12.00 WIB (siang) dan wafat 24 Desember 1873 M. Nama
aslinya Raden Bagus Burhan. Raden Ngabehi Ronggo Warsito merupakan julukan atau
gelar sebagai pujangga keraton yang hebat. Tidak hanya itu, ia juga sebagai
ahli agama dan ahli kebatinan.
Guru-gurunya di
antaranya ialah Kiai Kasan Basri (pengasuh pesantren Gebang Tinatar, Tegal
Sari, Ponorogo, melacak pemikiran tasawuf), Ki Tanujoyo (emban sekaligus
guru mistik Ronggo Warsito). Buku yang
sangat ia senangi yaitu Naskah Hindu koleksi Ki Ajar Sidalaku, Insan Kamil al
Jili.
Saat remaja ia bisa digolongkan sebagai pemuda
yang nakal. Ia sangat suka nyabung ayam dan berjudi, sampai-sampi diusir dari pondoknya.
B.
Pemikirannya
Kebanyakan para peneliti
mengklaim bahwa teori sufistik Ronggo Warsito lebih mengarah pada kebatinan,
karena memang banyak terdapat singkretisasi antara ajaran
tasawuf islam dan kejawen. Yang lebih mendoninasi ialah tentang kebatinannya
(kejawen).
Misalkan saja dalam konsep
tujuh martabatnya yang merupakan hasil dari penghayatan dari ajaran Dewa Ruci. Kemungkinan
besar penghayatan terhadap dewa ruci ini juga
mempengaruhi wahdatul wujud Ronggo Warsito.
Konsep martabat tujuh dalam Wirid Hidayat
Jati ini berisikan apandangan-pandangan hidupnya tentang Tuhan, manusia,
dan alam semesta, yakni tiga aspek utama yang terdapat dalam berbagai bentuk
ajaran kepercayaan.
Tujuh
martabat Ronggo Warsito diantaranya yairu, pertama, Sirajatul Yakin
Ahadiyat, kedua, Nur Muhammad (cahaya
yang terpuji) à Wahdat = Pranawa di luar hayyu (hidup), ketiga, Mi’ratul
Hayya’i (kaca Wira’i) Wahadiyyat/sir dan rahsa = Pramana
di luar nur, keempat, Ruh Idhofi (nyawa yang jernih) Martabat alam
arwah = Sukma di luar sir, kelima, Kandil (lampu tanpa
api) Alam mitsal = Nafsu
di luar roh, keenam, Dharrah (permata) Alam ajsam = Budi
di luar nafs, ketujuh, Hijab, disebut dinding jalal (tabir
yang agung) Insan kamil = Jasad di luar budi
Pada
awal 90-an, saya pernah membaca sebuah buku yang di dalamnya ada kutipan puisi:East is
East and West is West, and never the twain shall meet (Timur adalah Timur dan
Barat adalah Barat dan keduanya tidak akan pernah bertemu).
Puisi
itu ditulis abad ke 19 M oleh Rudyard Kipling, seorang sastrawan Inggris
kelahiran India. Puisi berjudul The Ballad of East and West itu
sangat terkenal. Terutama karena rangkaian kata-katanya dijadikan semboyan
kolonialis Eropa untuk menancapkan kaki penjajahan di benua Asia dan Afrika.
Pesan
terselubung dibalik rangkaian puisi adalah: ras bangsa Barat (ketika itu
khususnya Eropa) dan ras bangsa Timur (Asia dan Afrika) selamanya akan berbeda
secara mendasar yang tidak akan pernah bisa disatukan. Dan kedudukan ras Barat
lebih tinggi dari ras Timur.
Rangkaian
kata dalam puisi itu menjadi semacam kekuatan ras Barat dalam melegitimasi
penjajahan dan penjarahan terhadap kekayaan dan harta milik ras Timur. Itulah
yang menjadi dasar penjajahan Bangsa Eropa terhadap sesamanya di Asia dan
Afrika.
Setelah
Perang Dunia Kedua berakhir, maka Barat dan Timur menyatu hingga kini. Tidak
ada lagi pemisah antara ras Barat dan ras Timur. Kedua ras ini berada dalam
kedudukan sederajat dalam menghuni Bumi. (Sepintas lalu, pesan puisi tadi
kehilangan relevansinya. Tetapi kenyataannya tidak demikian).
a. Mitos
Kolonialisme
yang terjadi hingga pertengahan abad ke 20 bukan hanya dalam bentuk penjajahan
secara fisik, melainkan penjajahan pikiran. Inilah yang menjadi persoalan.
Meskipun Negara kita sudah merdeka (yang ditandai dengan Proklamasi 17 Agustus
1945), tetapi alam pikiran kita belum bebas dari sisa-sisa penjajahan tempo
dulu. Tentu saja tanpa kita sadari.
Penjajahan
pikiran ini antara lain tercermin dalam berbagai mitos yang berkembang di
negeri ini, baik mitos terhadap tokoh (Sukarno, Pangeran Diponegor, dan
lain-lain), mitos terhadap tempat (makam keramat, Gunung angker, dan
lain-lain), mitos terhadap benda purbakala (candi, menhir, keris dan
lain-lain).
Harus
diakui, penilaian terhadap mitos itu relatif: ada mitos baik, mitos buruk,
mitos benar dan mitos salah. Atau dengan kata lain, apapun mitos yang selama
ini berkembang di masyarakat masih tetap dapat diperdebatkan nilai dan
fungsinya.
Tulisan
ini sekilas mengulas seputar mitos terhadap seorang putra terbaik yang pernah
dimiliki bangsa ini yang namanya sangat fenomenal: Raden Ngabehi Ronggowarsito
(1802-1873).
Sosok
fenomenal ini dikenal karena kecerdasan supranaturalnya yang jauh di atas
orang-orang cerdas supranatural pada masanya. Bahkan hingga kini, kecerdasan
supranaturalnya belum tertandingi siapapun.
Dalam
berbagai buku, makalah, seminar, skripsi, disertasi, tulisan di internet dan
ulasan berbagai media, senantiasa menempatkan Ronggowarsito sebagai pujangga
dan peramal terbaik yang pernah dimiliki bangsa ini.
Ronggowarsito
terkenal karena karya-karyanya mengandung bermacam ramalan hingga ratusan tahun
ke depan. Berikut petikannya:
Amenangi zaman edan,
Ewuh aya ing pambudi,
Milu edan nora tahan,
Yen tan milu anglakoni,
Boya kadumen melik,
Kaliren wekasanipun,
Ndilalah kersa Allah,
Begja begjane kang lali,
Luwih begja kang eling klawan waspada
Menyaksikan zaman gila,
Serba susah dalam bertindak,
Ikut gila tidak akan tahan,
Tapi kalau tidak mengikuti (gila),
Tidak akan mendapat bagian,
Kelaparan pada akhirnya,
Namun telah menjadi kehendak Alloh,
Sebahagia-bahagianya orang yang lalai (lupa),
Akan lebih bahagia orang yang tetap ingat dan
waspada.
Karya-karya
Ronggowarsito yang terkenal diantaranya: Serat Kalatida berisi gambaran
penjajahan yang disebut Zaman Edan. Serat Jaka Lodang berisi ramalan datangnya
Zaman Baik dan Serat Sabdatama yang berisi ramalan tentang sifat Zaman Makmur
dan Perilaku Manusia yang Tamak.Bahkan menjelang akhir hayatnya, beliau menulis
Serat Sabdajati yang diantaranya berisi ramalan saat kematiannya sendiri.
Tetapi,
nanti dulu. Sosok fenomenal yang namanya selalu diidentikkan dengan julukan
peramal ini tampaknya tidak sesuai lagi disematkan pada Ronggowarsito. Julukan
peramal adalah mitos menyesatkan yang (dengan atau tanpa sengaja) tertanam kuat
di dalam benak masyarakat. Dengan kata lain, Ronggowarsito memiliki kecerdasan
yang lebih dari sekadar seorang peramal. Ronggowarsito adalah filsuf besar
Nusantara.
b. Buku bukunya
Menempatkan
Ronggowarsito sebagai filsuf besar Nusantara, daripada sekadar pujangga dan
peramal, diuraikan dalam buku Mengenali Ronggowarsito sebagai Filsuf :
Ketika Pemikiran Filsafat Dianggap Ramalan (Bidik-Phronesis Publishing,
Jakarta, Mei 2012). Buku ini ditulis Lilik
Sofyan Achmad (LSA) yang sejauh ini dikenal sebagai Guru
Besar yang tekun dalam meneliti dan mengkaji karya-karya Ronggowarsito.
Gagasan
penulisan buku ini berawal dari sebuah pertanyaan besar: Apakah
pemikiran-pemikiran Ronggowarsito hanya berisi ramalan-ramalan belaka?
Pertanyaan
inilah yang membawa LSA menelusuri secara jernih, teliti dan tajam terhadap
seluruh karya Ronggowarsito. Lalu dari hasil kajiannya selama bertahun-tahun,
LSA menyimpulkan bahwa pemikiran-pemikiran Ronggowarsito terbukti memiliki
sistematika yang logis. Inilah yang secara meyakinkan menempatkan Ronggowarsito
sebagai seorang filsuf besar yang pernah dimiliki bangsa ini.
Buku
setebal 88 halaman ini merangkum hasil kajian LSA dalam hal pembuktian
Ronggowarsito sebagai filsuf besar Nusantara yang sejajar dengan filsuf-filsuf
besar negeri ini dan dunia dan bukan sekadar pujangga kraton, peramal, cenayang,
paranormal atau apapun namanya.
Buku ini
diawali dengan bab 1 yang mengisahkan masa kecil dan perjalanan karir
Ronggowarsito. Bab 2 seputar teori paska kolonial dan relevansinya dengan
pemikiran Ronggowarsito. Bab 3 mengungkap segala sesuatu yang dibangun dengan
mitos dan bagian Penutup.
Buku ini
menjadi menarik karena pada bagian akhir terdapat epilog berjudul Ronggowarsito
Memang Filsuf yang ditulis Turita Indah Setyani. Dia adalah
peneliti sastra dan budaya Jawa lulusan Fakultas Sastra Universitas Indonesia
di bidang kajian budaya dan feminisme yang kerap menjadi pembicara di pelbagai
forum ilmiah nasional dan internasional. Tulisan Turita Indah Setyani sangat
membantu Pembaca dalam memahami seluruh rangkaian isi buku ini.
Tidak
kalah menariknya adalah kata pengantar buku ini yang ditulis Riko, Direktur
Penerbit Buku Bidik-Phronesis Publishing. Riko tampaknya faham benar dengan LSA
yang dilanda kegelisahan terhadap sosok Ronggowarsito yang hanya dikenal
generasi muda bangsa ini sebagai seorang peramal.
Riko
membuka jalan bagi LSA untuk mempublikasikan hasil kajiannya. Buku Mengenali
Ronggowarsito sebagai Filsuf merupakan buku pertama yang terbit di Tanah Air
yang secara tegas dan ilmiah memberi julukan baru kepada sosok fenomenal
Ronggowarsito.
c. Membongkar Mitos Peramal
Anda
tentu sudah lama mengetahui bahwa Ronggowarsito adalah seorang peramal ulung.
Lalu Anda mungkin bertanya-tanya: Apakah terbitnya buku ini akan menumbangkan
reputasi Ronggowarsito sebagai peramal? Jawabannya: Tidak.
Buku ini
sama sekali tidak bermaksud meruntuhkan Ronggowarsito sebagai seorang peramal
yang ramalan-ramalannya masih relevan hingga saat ini, sebagaimana kutipan
ramalan di atas.
Buku ini
justru hendak menegaskan bahwa Ronggowarsito memiliki kecerdasan yang jauh
lebih tinggi daripada sekadar menempatkannya sebagai seorang peramal.
Pemikiran-pemikiran Ronggowarsito yang terangkum dalam karya-karya
monumentalnya itu bukanlah kitab ramalan, melainkan kitab filsafat. Ramalan
hanya sebagian saja dari seluruh pemikiran filsafat Ronggowarsito.
Lalu
pertanyaannya, mengapa selama ini kita mengenal Ronggowarsito sebagai peramal?
Inilah
yang saya maksud dengan penjajahan pikiran. Sebagaimana petikan puisi Rudyard
Kipling di atas (East is East and West is West, and never the
twain shall meet).
Sejak
dulu, bangsa Barat mencoba menanamkan ke dalam pikiran bangsa Timur bahwa para
filsuf (atau para pemikir dunia) hanya milik bangsa Barat (baca: Eropa dan
Amerika). Sehingga klaim majunya peradaban dan kecerdasan manusia harus selalu
dimulai dari bangsa Barat.
Sedangkan
bangsa Barat selalu mengidentikkan bangsa Timur dengan ramalan, mistik,
supranatural yang dianggap sumber keterbelakangan. Padahal, manusia-manusia
dari ras bangsa Timur ini memiliki kecerdasan yang setara dengan kecerdasan bangsa
Barat.
Membaca
buku baru ini memberi keyakinan kepada saya bahwa sosok fenomenal Raden Ngabehi
Ronggowarsito memang sudah selayaknya disejajarkan dengan para filsuf negeri
ini dan filsuf dunia.
Tujuan
utama penulis buku ini, tentu saja, hendak menempatkan pemikiran Ronggowarsito
dalam pisau bedah filsafat dan tidak lagi membiarkan para petualang mistik,
supranatural atau klenik, terus berputar-putar membicarakan ramalan Satrio
Piningit, Zaman Edan dan sejenisnya.
Kajian
pemikiran Ronggowarsito dapat berada dalam meja yang sama dengan para filsuf
lainnya di negeri ini, seperti Tantular, Paku Buwana IV, Ki Hajar Dewantara,
Driyarkara, Romo Sugijapranata, Hamka, Franz Magnis Suseno, Leo Suryadinata,
Nurcholish Madjid, Damarjati Supadjar, FX. Mudji Sutrisno dan
lain-lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar