BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pemerintah Indonesia telah
melakukan upaya-upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan yang mana selama
ini masih dirasa masih kurang, diantaranya dengan membuat program progaram
antara lain “aku anak sekolah” dan dana bantuan operasional. Program tersebut
diharapkan mampu menjunjung kualitas maupun kuantitas pendidikan di Indonesia,
akantetapi karena pengelolaannya masih terpusat dan kaku, program tersebut
tidak dapat memberikan dampak positif. Dugaannya adalah masalah manajemen yang
belum sesuai.
Hingga munculah suatu
pemikiran atau gagasan baru dalam pengelolaan pendidikan yang memberi kebijakan
kepada masing masing sekolah untuk mengatur dan melaksanakan berbagai kebijakan
dari pemerintah. Pemikiran inilah yang disebut dengan manajemen berbasis
sekolah.
Manajemen
Berbasis Sekolah atau School Based Management, School Based Decision Making and
Management oleh Hallinger dan Hausman (1992) didefinisikan sebagai pemberian
kewenangan kepada sekolah untuk bebas menata organisasi sekolah, manajemen
persekolahan, pengelolaan kelas, optimalisasi kerjasama (kepala sekolah,
orangtua dan guru) dan pemberian kesempatan yang kreatif dan inovarif kepada
sekolah. Istilah School based management atau Manajemen Berbasis Sekolah ini
mulai diperkenalkan di Amerika Serikat pada tahun 1970. MBS lahir sebagai
koreksi atas kinerja sekolah yang dalam hasil analisis para pakar tidak mampu
memberi respon kontekstual atas tuntutan dan kebutuhan masyarakat. Di
Indonesia MBS mulai diperkenalkan tahun 1999 oleh Departemen Pendidikan
Nasional melalui Proyek perintisan Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah
(MPMBS), sehingga MBS merupakan model otonomi pendidikan yang diterapkan di
sekolah. Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) adalah salah satu strategi wajib yang
Indonesia tetapkan sebagai standar dalam mengembangkan keunggulan
pengelolaan sekolah.
Penegasan ini
dituangkan dalam USPN Nomor 20 tahun 2003 pada pasal 51 ayat 1 bahwa
pengelolaan satuan pendidikan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan
standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah. MBS
merupakan model aplikasi manajemen institusional yang mengintegrasikan
seluruh sumber internal dan eksternal dengan lebih menekankan pada
pentingnya menetapkan kebijakan melalui perluasan otonomi sekolah.
Sasarannya adalah mengarahkan perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi kebijakan
dalam rangka mencapai tujuan. Spesifikasinya berkenaan dengan visi, misi, dan
tujuan yang dikemas dalam pengembangan kebijakan dan perencanaan.
BPPN dan Bank Dunia (1999)
dalam Mulyasa, memberi pengertian bahwa MBS merupakan bentuk alternatif sekolah
dalam program desentralisasi di bidang pendidikan, yang ditandai oleh otonomi
luas di tingkat sekolah, partisipasi masyarakat, dan dalam kerangka kebijakan
nasional.Sedangkan Depdikbud dalam Mulyasa, mengemukakan MBS adalah suatu
penawaran bagi sekolah untuk menyediakan pendidikan yang lebih baik dan lebih
memadai bagi para peserta didik.Mulyasa mengemukakan Manajemen Berbasis Sekolah
adalah pradigma baru pendidikan, yang memberikan otonomi luas pada tingkat
sekolah (pelibatan masyarakat) dalam rangka kebijakan pendidikan nasional.
Dari beberapa pengertian
diatas dapat disimpulkan bahwa Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) adalah
kebijakan pemerintah yang diberikan masing-masing sekolah untuk mengelola dan
mengoptimalkan pendidikan di daerahnya sesuai dengan karakteristik di daerahnya
masing-masing dan keikutsertaan masyarakat dalam mewujudkan tujuan pendidikan.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa
yang dimaksud dengan MBS?
2.
Apa
saja konsep dasar yang ada pada MBS?
3.
Apa
sajakah tujuan dari MBS?
4.
Bagaimanakah
karakteristik yang dimiliki oleh MBS?
C.
Tujuan
1. Mengetahui apa pengertian dari Menejemen
Berbasis Sekolah.
2. Mengetahui dan memahami bagaimana konsep
dasar yang terdapat dalam Menejemen Berbasis Sekolah.
3. Mengetahui tujuan dari Menejemen
Berbasis Sekolah.
4. Mengetahui bagaimana karakteristik yang
dimiliki oleh Menejemen Berbasis Sekolah.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian MBS (Menejemen Berbasis Sekolah)
Secara
umum, manajemen berbasis sekolah (MBS) dapat diartikan sebagai model
pengelolaan yang memberikan otonomi (kewenangan dan tanggungjawab) lebih besar
kepada sekolah, memberikan fleksibilitas/keluwesan-keluwesan kepada sekolah,
dan mendorong partisipasi secara langsung warga sekolah (guru, siswa, kepala
sekolah, karyawan) dan masyarakat (orangtua siswa, tokoh masyarakat, ilmuwan,
pengusaha, dan sebagainya.), untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan
kebijakan pendidikan nasional serta peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dengan otonomi tersebut, sekolah diberikan kewenangan dan tanggungjawab untuk
mengambil keputusan-keputusan sesuai dengan kebutuhan, kemampuan dan tuntutan
sekolah serta masyarakat atau stakeholder yang ada. (Catatan: MBS tidak dibenarkan
menyimpang dari peraturan perundang-undangan yang berlaku).
Otonomi dapat diartikan sebagai
kemandirian yaitu kemandirian dalam mengatur dan mengurus dirinya sendiri,
kemandirian dalam program dan pendanaan merupakan tolok ukur utama kemandirian
sekolah. Pada gilirannya, kemandirian yang berlangsung secara terus menerus
akan menjamin kelangsungan hidup dan perkembangan sekolah (sustainabilitas).
Istilah otonomi juga sama dengan istilah swa, misalnya swasembada, swakelola,
swadana, swakarya, dan swalayan. Jadi otonomi sekolah adalah kewenangan sekolah
untuk mengatur dan mengurus kepentingan warga sekolah menurut prakarsa sendiri
berdasarkan aspirasi warga sekolah sesuai dengan peraturan perundang-undangan
pendidikan nasional yang berlaku. Tentu saja kemandirian yang dimaksud harus
didukung oleh sejumlah kemampuan, yaitu kemampuan mengambil keputusan yang
terbaik, kemampuan berdemokrasi/menghargai perbedaan pendapat, kemampuan
memobilisasi sumberdaya, kemampuan memilih cara pelaksanaan yang terbaik,
kemampuan berkomunikasi dengan cara yang efektif, kemampuan memecahkan
persoalan-persoalan sekolah, kemampuan adaptif dan antisipatif, kemampuan
bersinergi dan berkolaborasi, dan kemampuan memenuhi kebutuhannya sendiri.
Dengan otonomi yang lebih besar,
sekolah memiliki kewenangan dan tanggungjawab yang lebih besar dalam mengelola
sekolahnya, sehingga sekolah lebih mandiri. Dengan kemandiriannya, sekolah
lebih berdaya dalam mengembangkan program-program yang, tentu saja, lebih
sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan/potensi yang dimiliki dengan
fleksibilitas/keluwesan-keluwesannya, sekolah akan lebih lincah dalam mengelola
dan memanfaatkan sumberdaya sekolah secara optimal.
Peningkatan partisipasi yang
dimaksud adalah penciptaan lingkungan yang terbuka dan demokratik, di mana
warga sekolah (guru, siswa, karyawan) dan masyarakat (orang tua siswa, tokoh
masyarakat, ilmuwan, usahawan, dan sebagainya.) didorong untuk terlibat secara
langsung dalam penyelenggaraan pendidikan, mulai dari pengambilan keputusan,
pelaksanaan, dan evaluasi pendidikan yang diharapkan dapat meningkatkan mutu
pendidikan. Hal ini dilandasi oleh keyakinan bahwa jika seseorang dilibatkan
(berpartisipasi) dalam penyelenggaraan pendidikan, maka yang bersangkutan akan
mempunyai rasa memiliki terhadap sekolah, sehingga yang bersangkutan juga akan
bertanggungjawab dan berdedikasi sepenuhnya untuk mencapai tujuan sekolah.
Singkatnya: makin besar tingkat partisipasi, makin besar pula rasa memiliki;
makin besar rasa memiliki, makin besar pula rasa tanggungjawab; dan makin besar
rasa tanggungjawab, makin besar pula dedikasinya.
Tentu saja pelibatan warga
sekolah dalam penyelenggaraan sekolah harus mempertimbangkan keahlian, batas
kewenangan, dan relevansinya dengan tujuan partisipasi. Peningkatan partisipasi
warga sekolah dan masyarakat dalam penyelenggaraan sekolah akan mampu menciptakan
keterbukaan, kerjasama yang kuat, akuntabilitas, dan demokrasi pendidikan.
Keterbukaan yang dimaksud adalah keterbukaan dalam program dan keuangan.
Kerjasama yang dimaksud adalah adanya sikap dan perbuatan lahiriyah
kebersamaan/kolektif untuk meningkatkan mutu sekolah. Kerjasama sekolah yang
baik ditunjukkan oleh hubungan antar warga sekolah yang erat, hubungan sekolah
dan masyarakat erat, dan adanya kesadaran bersama bahwa output sekolah
merupakan hasil kolektif teamwork yang kompak, cerdas dan dinamis.
Akuntabilitas sekolah adalah pertanggungjawaban sekolah kepada warga
sekolahnya, masyarakat dan pemerintah melalui pelaporan dan pertemuan yang
dilakukan secara terbuka. Sedang demokrasi pendidikan adalah kebebasan yang
terlembagakan melalui musyawarah dan mufakat dengan menghargai perbedaan, hak
asasi manusia serta kewajibannya dalam rangka untuk meningkatkan mutu
pendidikan.
Partisipasi masyarakat terhadap
penyelenggaraan sekolah telah diatur dalam suatu kelembagaan yang disebut
dengan Komite Sekolah. Secara resmi keberadaan Komite Sekolah ditunjukkan
melalui Surat Keputusan Mendiknas Nomor 044/U/2002 tentang Dewan Pendidikan dan
Komite Sekolah. Dalam hal pembentukannya, Komite Sekolah menganut prinsip
transparansi, akuntabilitas, dan demokrasi. Komite Sekolah diharapkan menjadi
mitra sekolah yang dapat mewadahi dan menyalurkan aspirasi serta prakarsa
masyarakat dalam melahirkan kebijakan operasional dan program pendidikan di
sekolah. Tugas dan fungsi Komite Sekolah antara lain mendorong tumbuhnya perhatian
dan komitmen masyarakat terhadap penyelenggaraan pendidikan yang bermutu;
mendorong orangtua dan masyarakat berpartisipasi dalam pendidikan guna
mendukung peningkatan mutu dan pemerataan pendidikan; dan menggalang dana
masyarakat dalam rangka pembiayaan penyelenggaraan pendidikan di satuan
pendidikan.
Selain itu, Komite Sekolah juga
dapat memberikan masukan dan pertimbangan kepada sekolah tentang kebijakan dan
program pendidikan, rencana anggaran pendidikan dan belanja sekolah. Pendeknya,
Komite Sekolah diharapkan berperan sebagai pendukung, pemberi pertimbangan,
mediator dan pengontrol penyelenggaraan pendidikan di sekolah.
Fleksibilitas dapat diartikan
sebagai keluwesan-keluwesan yang diberikan kepada sekolah untuk mengelola,
memanfaatkan dan memberdayakan sumberdaya sekolah seoptimal mungkin untuk
meningkatkan mutu sekolah. Dengan keluwesan-keluwesan yang lebih besar
diberikan kepada sekolah, maka sekolah akan lebih lincah dan tidak harus
menunggu arahan dari atasannya untuk mengelola, memanfaatkan dan memberdayakan
sumberdayanya. Dengan cara ini, sekolah akan lebih responsif dan lebih cepat
dalam menanggapi segala tantangan yang dihadapi. Namun demikian,
keluwesan-keluwesan yang dimaksud harus tetap dalam koridor kebijakan dan
peraturan perundang-undangan yang ada.
Dengan pengertian di atas, maka
sekolah memiliki kemandirian lebih besar dalam mengelola sekolahnya (menetapkan
sasaran peningkatan mutu, menyusun rencana peningkatan mutu, melaksanakan
rencana peningkatan mutu, dan melakukan evaluasi pelaksanaan peningkatan mutu),
memiliki fleksibilitas pengelolaan sumberdaya sekolah, dan memiliki partisipasi
yang lebih besar dari kelompok-kelompok yang berkepentingan dengan sekolah.
Dengan kepemilikan ketiga hal ini, maka sekolah akan merupakan unit utama
pengelolaan proses pendidikan, sedang unit-unit di atasnya (Dinas Pendidikan
Kabupaten/Kota, Dinas Pendidikan Provinsi, dan Departemen Pendidikan Nasional)
akan merupakan unit pendukung dan pelayan sekolah, khususnya dalam pengelolaan
peningkatan mutu.
Sekolah yang mandiri memiliki
ciri-ciri sebagai berikut: sifat ketergantungan rendah; kreatif dan inisiatf,
adaptif dan antisipatif/proaktif terhadap perubahan; memiliki jiwa
kewirausahaan tinggi (inovatif, gigih, ulet, berani mengambil resiko, dan
sebagainya); bertanggungjawab terhadap kinerja sekolah; memiliki kontrol yang
kuat terhadap input manajemen dan sumberdayanya; memiliki kontrol yang kuat
terhadap kondisi kerja; komitmen yang tinggi pada dirinya; dan prestasi
merupakan acuan bagi penilaiannya. Selanjutnya, bagi sumberdaya manusia sekolah
yang berdaya, pada umumnya, memiliki ciri-ciri: pekerjaan adalah miliknya, dia
bertanggungjawab, pekerjaannya memiliki kontribusi, dia tahu posisinya di mana,
dia memiliki kontrol terhadap pekerjaannya, dan pekerjaannya merupakan bagian
hidupnya.
Contoh
tentang hal-hal yang dapat memandirikan/memberdayakan warga sekolah adalah:
pemberian kewenangan, pemberian tanggungjawab, pekerjaan yang bermakna,
pemecahan masalah sekolah secara teamwork, variasi tugas, hasil kerja yang
terukur, kemampuan untuk mengukur kinerjanya sendiri, tantangan, kepercayaan,
didengar, ada pujian, menghargai ide-ide, mengetahui bahwa dia adalah bagian
penting dari sekolah, kontrol yang luwes, dukungan, komunikasi yang efektif,
umpan balik bagus, sumberdaya yang dibutuhkan ada, dan warga sekolah
diberlakukan sebagai manusia ciptaan-Nya yang memiliki martabat tertinggi.
B.
Konsep Dasar MBS
Konsep dasar Manajemen Berbasis Sekolah adalah
manajemen yang bernuansa otonomi,
kemandirian dan demokratis.
1. Otonomi, mempunyai makna bahwa kewenangan sekolah untuk
mengatur dan mengurus kepentingan warga sekolah dalam mencapai tujuan sekolah
(mutu pendidikan) menurut prakarsa berdasarkan aspirasi dan partisipasi warga
sekolah dalam bingkai peraturan perundangan-undangan yang berlaku.
2. Kemandirian, mempunyai makna bahwa dalam pengambilan
keputusan tidak tergantung pada birokrasi yang sentralistik dalam mengelola
sumber daya yang ada, mengambil kebijakan, memilih strategi dan metoda dalam
memecahkan persoalan yang ada, mampu menyesuaikan dengan kondisi
lingkungan serta peka dan dapat memanfaatkan peluang yang ada.
lingkungan serta peka dan dapat memanfaatkan peluang yang ada.
3. Demokratif, mempunyai makna seluruh elemen-elemen sekolah
dilibatkan dalam menetapkan, menyusun, melaksanakan dan mengevaluasi
pelaksanaan untuk mencapai tujuan sekolah (mutu pendidikan) sehingga
memungkinkan tercapainya pengambilan kebijakan yang mendapat dukungan dari
seluruh elemen-elemen warga sekolah.
C. Tujuan MBS
a. Tujuan Umum
MBS
bertujuan untuk meningkatkan kinerja sekolah melalui pemberian kewenangan dan
tanggungjawab yang lebih besar kepada sekolah yang dilaksanakan berdasarkan
prinsip-prinsip tata kelola sekolah yang baik yaitu partisipasi, transparansi,
dan akuntabilitas. Peningkatan kinerja sekolah yang dimaksud meliputi peningkatan
kualitas, efektivitas, efisiensi, produktivitas, dan inovasi pendidikan.
Dengan MBS, sekolah diharapkan makin mampu dan
berdaya dalam mengurus dan mengatur sekolahnya dengan tetap berpegang pada
koridor-koridor kebijakan pendidikan nasional. Perlu digarisbawahi bahwa
pencapaian tujuan MBS harus dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip tata kelola
yang baik (partisipasi, transparansi, akuntabilitas, dan sebagainya).
b. Tujuan Khusus
1.
Meningkatkan mutu pendidikan
melalui kemandirian dan inisiatif sekolah dalam mengelola dan memberdayakan sumber
daya yang ada.
2.
Meningkatkan kepedulian
warga sekolah dan masyarakat dalampenyelenggaraan pendidikan melalui
pengambilan keputusan bersama.
3.
Meningkatkan tanggung jawab
sekolah kepada masyarakat.
4.
Meningkatkan persaingan yang
sehat antar sekolah tentang mutu pendidikan yang ingin dicapai.
D. Karakteristik MBS
Manajemen
Berbasis Sekolah memiliki karakteristik yang perlu dipahami oleh sekolah yang
akan menerapkannya. Dengan kata lain, jika sekolah ingin sukses dalam
menerapkan MBS, maka sejumlah karakteristik MBS berikut perlu dimiliki.
Berbicara karakteristik MBS tidak dapat dipisahkan dengan karakteristik sekolah
efektif. Jika MBS merupakan wadah/kerangkanya, maka sekolah efektif merupakan
isinya. Oleh karena itu, karakteristik MBS berikut memuat secara inklusif
elemen-elemen sekolah efektif, yang dikategorikan menjadi input, proses, dan
output.
Dalam
menguraikan karakteristik MBS, pendekatan sistem yaitu input-proses-output
digunakan untuk memandunya. Hal ini didasari oleh pengertian bahwa sekolah
merupakan sistem sehingga penguraian karakteristik MBS (yang juga karakteristik
sekolah efektif) mendasarkan pada input, proses, dan output. Selanjutnya,
uraian berikut dimulai dari output dan diakhiri input, mengingat output
memiliki tingkat kepentingan tertinggi, sedang proses memiliki tingkat
kepentingan satu tingkat lebih rendah dari output, dan input memiliki tingkat
kepentingan dua tingkat lebih rendah dari output.
a.
Output yang Diharapkan
Sekolah memiliki output yang diharapkan. Output
sekolah adalah prestasi sekolah yang dihasilkan oleh proses pembelajaran dan
manajemen di sekolah. Pada umumnya, output dapat diklasifikasikan menjadi dua,
yaitu output berupa prestasi akademik (academic achievement) dan output berupa
prestasi non-akademik (non-academic achievement). Output prestasi akademik
misalnya, NUN/NUS, lomba karya ilmiah remaja, lomba (Bahasa Inggris,
Matematika, Fisika), cara-cara berpikir (kritis, kreatif/ divergen, nalar,
rasional, induktif, deduktif, dan ilmiah). Output non-akademik, misalnya
keingintahuan yang tinggi, harga diri, akhlak/budipekerti, perilaku sosial yang
baik seperti misalnya bebas narkoba, kejujuran, kerjasama yang baik, rasa kasih
sayang yang tinggi terhadap sesama, solidaritas yang tinggi, toleransi,
kedisiplinan, kerajinan, prestasi olahraga.
b.
Proses
Sekolah yang efektif pada umumnya memiliki sejumlah
karakteristik proses sebagai berikut:
1.
Proses
Belajar Mengajar yang Efektivitasnya Tinggi
Sekolah yang menerapkan MBS memiliki efektivitas
proses belajar mengajar (PBM) yang tinggi. Ini ditunjukkan oleh sifat PBM yang
menekankan pada pemberdayaan peserta didik. PBM bukan sekadar memorisasi dan
recall, bukan sekadar penekanan pada penguasaan pengetahuan tentang apa yang
diajarkan (logos), akan tetapi lebih menekankan pada internalisasi tentang apa
yang diajarkan sehingga tertanam dan berfungsi sebagai muatan nurani dan
dihayati (ethos) serta dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari oleh peserta didik
(pathos). PBM yang efektif juga lebih menekankan pada belajar mengetahui
(learning to know), belajar bekerja (learning to do), belajar hidup bersama
(learning to live together), dan belajar menjadi diri sendiri (learning to be).
2.
Kepemimpinan
Sekolah yang Kuat
Pada sekolah yang menerapkan MBS, kepala sekolah
memiliki peran yang kuat dalam mengkoordinasikan, menggerakkan, dan
menyerasikan semua sumberdaya pendidikan yang tersedia. Kepemimpinan kepala
sekolah merupakan salah satu faktor yang dapat mendorong sekolah untuk dapat
mewujudkan visi, misi, tujuan, dan sasaran sekolahnya melalui program-program
yang dilaksanakan secara terencana dan bertahap. Oleh karena itu, kepala
sekolah dituntut memiliki kemampuan manajemen dan kepemimpinan yang tangguh agar
mampu mengambil keputusan dan inisiatif/prakarsa untuk meningkatkan mutu
sekolah. Secara umum, kepala sekolah tangguh memiliki kemampuan memobilisasi
sumberdaya sekolah, terutama sumberdaya manusia, untuk mencapai tujuan sekolah.
3.
Lingkungan
Sekolah yang Aman dan Tertib
Sekolah memiliki lingkungan (iklim) belajar yang
aman, tertib, dan nyaman sehingga proses belajar mengajar dapat berlangsung
dengan nyaman (enjoyable learning). Karena itu, sekolah yang efektif selalu
menciptakan iklim sekolah yang aman, nyaman, tertib melalui pengupayaan
faktor-faktor yang dapat menumbuhkan iklim tersebut. Dalam hal ini, peranan
kepala sekolah sangat penting sekali.
4.
Pengelolaan
Tenaga Kependidikan yang Efektif
Tenaga Kependidikan, terutama guru, merupakan jiwa
dari sekolah. Sekolah hanyalah merupakan wadah. Sekolah yang menerapkan MBS
menyadari tentang hal ini. Oleh karena itu, pengelolaan tenaga kependidikan,
mulai dari analisis kebutuhan, perencanaan, pengembangan, evaluasi kinerja,
hubungan kerja, hingga sampai pada imbal jasa, merupakan garapan penting bagi
seorang kepala sekolah.
Terlebih-lebih pada pengembangan tenaga
kependidikan, ini harus dilakukan secara terus-menerus mengingat kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang sedemikian pesat. Pendeknya, tenaga kependidikan
yang diperlukan untuk menyukseskan MBS adalah tenaga kependidikan yang
mempunyai komitmen tinggi, selalu mampu dan sanggup menjalankan tugasnya dengan
baik.
5.
Sekolah
Memiliki Budaya Mutu
Budaya mutu tertanam di sanubari semua warga
sekolah, sehingga setiap perilaku selalu didasari oleh profesionalisme. Budaya
mutu memiliki elemen-elemen sebagai berikut:
(a)
informasi
kualitas harus digunakan untuk perbaikan, bukan untuk mengadili/mengontrol
orang;
(b)
kewenangan
harus sebatas tanggungjawab;
(c)
hasil
harus diikuti penghargaan (rewards) atau sanksi (punishment);
(d)
kolaborasi
dan sinergi, bukan kompetisi, harus merupakan basis untuk kerjasama;
(e)
warga
sekolah merasa aman terhadap pekerjaannya;
(f)
atmosfir
keadilan (fairness) harus ditanamkan;
(g)
imbal
jasa harus sepadan dengan nilai pekerjaannya; dan
(h)
warga
sekolah merasa memiliki sekolah.
6.
Sekolah
Memiliki Teamwork yang Kompak, Cerdas, dan Dinamis
Kebersamaan (teamwork) merupakan karakteristik yang dituntut oleh MBS, karena output pendidikan merupakan hasil kolektif warga sekolah, bukan hasil individual. Karena itu, budaya kerjasama antar fungsi dalam sekolah, antar individu dalam sekolah, harus merupakan kebiasaan hidup sehari-hari warga sekolah.
Kebersamaan (teamwork) merupakan karakteristik yang dituntut oleh MBS, karena output pendidikan merupakan hasil kolektif warga sekolah, bukan hasil individual. Karena itu, budaya kerjasama antar fungsi dalam sekolah, antar individu dalam sekolah, harus merupakan kebiasaan hidup sehari-hari warga sekolah.
7.
Sekolah
Memiliki Kewenangan
Sekolah memiliki kewenangan untuk melakukan yang
terbaik bagi sekolahnya sehingga dituntut untuk memiliki kemampuan dan
kesanggupan kerja yang tidak selalu menggantungkan pada atasan. Untuk menjadi
mandiri, sekolah harus memiliki sumberdaya yang cukup untuk menjalankan
tugas dan fungsinya, baik sumberdaya manusia maupun sumberdaya selebihnya yaitu
peralatan, perlengkapan, perbekalan, dana, dan bahan/material.
8.
Partisipasi
yang Tinggi dari Warga Sekolah dan Masyarakat
Sekolah yang menerapkan MBS memiliki karakteristik bahwa partisipasi warga sekolah dan masyarakat merupakan bagian kehidupannya. Hal ini dilandasi oleh keyakinan bahwa makin tinggi tingkat partisipasi, makin besar rasa memiliki; makin besar rasa memiliki, makin besar pula rasa tanggungjawab; dan makin besar rasa tanggungjawab, makin besar pula tingkat dedikasinya.
Sekolah yang menerapkan MBS memiliki karakteristik bahwa partisipasi warga sekolah dan masyarakat merupakan bagian kehidupannya. Hal ini dilandasi oleh keyakinan bahwa makin tinggi tingkat partisipasi, makin besar rasa memiliki; makin besar rasa memiliki, makin besar pula rasa tanggungjawab; dan makin besar rasa tanggungjawab, makin besar pula tingkat dedikasinya.
9.
Sekolah
Memiliki Keterbukaan (Transparansi) Manajemen
Keterbukaan/transparansi dalam pengelolaan sekolah merupakan karakteristik sekolah yang menerapkan MBS.Keterbukaan/transparansi ini ditunjukkan dalam pengambilan keputusan, perencanaan dan pelaksanaan kegiatan, penggunaan uang, dan sebagainya, yang selalu melibatkan pihak-pihak terkait sebagai alat kontrol.
Keterbukaan/transparansi dalam pengelolaan sekolah merupakan karakteristik sekolah yang menerapkan MBS.Keterbukaan/transparansi ini ditunjukkan dalam pengambilan keputusan, perencanaan dan pelaksanaan kegiatan, penggunaan uang, dan sebagainya, yang selalu melibatkan pihak-pihak terkait sebagai alat kontrol.
10. Sekolah Memiliki Kemauan untuk Berubah (psikologis
dan fisik)
Perubahan harus merupakan sesuatu yang menyenangkan bagi semua warga sekolah. Sebaliknya, kemapanan merupakan musuh sekolah. Tentu saja yang dimaksud perubahan adalah peningkatan, baik bersifat fisik maupun psikologis. Artinya, setiap dilakukan perubahan, hasilnya diharapkan lebih baik dari sebelumnya (ada peningkatan) terutama mutu peserta didik.
Perubahan harus merupakan sesuatu yang menyenangkan bagi semua warga sekolah. Sebaliknya, kemapanan merupakan musuh sekolah. Tentu saja yang dimaksud perubahan adalah peningkatan, baik bersifat fisik maupun psikologis. Artinya, setiap dilakukan perubahan, hasilnya diharapkan lebih baik dari sebelumnya (ada peningkatan) terutama mutu peserta didik.
11. Sekolah Melakukan Evaluasi dan Perbaikan Secara
Berkelanjutan
Evaluasi belajar secara teratur bukan hanya ditujukan untuk mengetahui tingkat daya serap dan kemampuan peserta didik, tetapi yang terpenting adalah bagaimana memanfaatkan hasil evaluasi belajar tersebut untuk memperbaiki dan menyempurnakan proses belajar mengajar di sekolah. Oleh karena itu, fungsi evaluasi menjadi sangat penting dalam rangka meningkatkan mutu peserta didik dan mutu sekolah secara keseluruhan dan secara terus menerus.
Perbaikan secara terus-menerus harus merupakan kebiasaan warga sekolah. Tiada hari tanpa perbaikan. Karena itu, sistem mutu yang baku sebagai acuan bagi perbaikan harus ada. Sistem mutu yang dimaksud harus mencakup struktur organisasi, tanggungjawab, prosedur, proses dan sumberdaya untuk menerapkan manajemen mutu.
Evaluasi belajar secara teratur bukan hanya ditujukan untuk mengetahui tingkat daya serap dan kemampuan peserta didik, tetapi yang terpenting adalah bagaimana memanfaatkan hasil evaluasi belajar tersebut untuk memperbaiki dan menyempurnakan proses belajar mengajar di sekolah. Oleh karena itu, fungsi evaluasi menjadi sangat penting dalam rangka meningkatkan mutu peserta didik dan mutu sekolah secara keseluruhan dan secara terus menerus.
Perbaikan secara terus-menerus harus merupakan kebiasaan warga sekolah. Tiada hari tanpa perbaikan. Karena itu, sistem mutu yang baku sebagai acuan bagi perbaikan harus ada. Sistem mutu yang dimaksud harus mencakup struktur organisasi, tanggungjawab, prosedur, proses dan sumberdaya untuk menerapkan manajemen mutu.
12. Sekolah Responsif dan Antisipatif terhadap
Kebutuhan
Sekolah selalu tanggap/responsif terhadap berbagai aspirasi yang muncul bagi peningkatan mutu. Karena itu, sekolah selalu membaca lingkungan dan menanggapinya secara cepat dan tepat. Bahkan, sekolah tidak hanya mampu menyesuaikan terhadap perubahan/tuntutan, akan tetapi juga mampu mengantisipasi hal-hal yang mungkin bakal terjadi. Menjemput bola, adalah padanan kata yang tepat bagi istilah antisipatif.
Sekolah selalu tanggap/responsif terhadap berbagai aspirasi yang muncul bagi peningkatan mutu. Karena itu, sekolah selalu membaca lingkungan dan menanggapinya secara cepat dan tepat. Bahkan, sekolah tidak hanya mampu menyesuaikan terhadap perubahan/tuntutan, akan tetapi juga mampu mengantisipasi hal-hal yang mungkin bakal terjadi. Menjemput bola, adalah padanan kata yang tepat bagi istilah antisipatif.
13. Memiliki Komunikasi yang Baik
Sekolah yang efektif umumnya memiliki komunikasi
yang baik, terutama antar warga sekolah, dan juga sekolah-masyarakat, sehingga
kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh masing-masing warga sekolah dapat
diketahui. Dengan cara ini, maka keterpaduan semua kegiatan sekolah dapat
diupayakan untuk mencapai tujuan dan sasaran sekolah yang telah dipatok. Selain
itu, komunikasi yang baik juga akan membentuk teamwork yang kuat, kompak, dan
cerdas, sehingga berbagai kegiatan sekolah dapat dilakukan secara merata oleh
warga sekolah.
14. Sekolah Memiliki Akuntabilitas
Akuntabilitas adalah bentuk
pertanggungjawaban yang harus dilakukan sekolah terhadap keberhasilan program
yang telah dilaksanakan. Akuntabilitas ini berbentuk laporan prestasi yang
dicapai dan dilaporkan kepada pemerintah, orangtua siswa, dan masyarakat.
Berdasarkan laporan hasil program ini, pemerintah dapat menilai apakah program
MBS telah mencapai tujuan yang dikendaki atau tidak. Jika berhasil, maka
pemerintah perlu memberikan penghargaan kepada sekolah yang bersangkutan,
sehingga menjadi faktor pendorong untuk terus meningkatkan kinerjanya di masa
yang akan datang. Sebaliknya jika program tidak berhasil, maka pemerintah perlu
memberikan teguran sebagai hukuman atas kinerjanya yang dianggap tidak memenuhi
syarat.
Demikian pula, para orangtua siswa dan anggota masyarakat dapat memberikan penilaian apakah program ini dapat meningkatkan prestasi anak-anaknya secara individual dan kinerja sekolah secara keseluruhan. Jika berhasil, maka orangtua peserta didik perlu memberikan semangat dan dorongan untuk peningkatan program yang akan datang. Jika kurang berhasil, maka orangtua siswa dan masyarakat berhak meminta pertanggungjawaban dan penjelasan sekolah atas kegagalan program MBS yang telah dilakukan. Dengan cara ini, maka sekolah tidak akan main-main dalam melaksanakan program pada tahun-tahun yang akan datang.
Demikian pula, para orangtua siswa dan anggota masyarakat dapat memberikan penilaian apakah program ini dapat meningkatkan prestasi anak-anaknya secara individual dan kinerja sekolah secara keseluruhan. Jika berhasil, maka orangtua peserta didik perlu memberikan semangat dan dorongan untuk peningkatan program yang akan datang. Jika kurang berhasil, maka orangtua siswa dan masyarakat berhak meminta pertanggungjawaban dan penjelasan sekolah atas kegagalan program MBS yang telah dilakukan. Dengan cara ini, maka sekolah tidak akan main-main dalam melaksanakan program pada tahun-tahun yang akan datang.
15. Manajemen Lingkungan Hidup Sekolah Bagus
Sekolah efektif melaksanakan manajemen lingkungan
hidup sekolah secara efektif. Sekolah memiliki perencanaan, pengorganisasian,
pelaksanaan, pengkoordinasian, dan pengevaluasian pendidikan kecakapan hidup
(program adiwiyata) yang dikembangkan secara terus menerus dari waktu ke waktu.
Sekolah melakukan upaya-upaya untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan
kesadaran warga sekolah tentang nilai-nilai lingkungan hidup dan mampu mengubah
perilaku dan sikap warga sekolah untuk menuju lingkungan hidup yang sehat.
16. Sekolah memiliki Kemampuan Menjaga Sustainabilitas
Sekolah yang efektif juga memiliki kemampuan untuk
menjaga kelangsungan hidupnya (sustainabilitasnya) baik dalam program maupun
pendanaannya. Sustainabilitas program dapat dilihat dari keberlanjutan
program-program yang telah dirintis sebelumnya dan bahkan berkembang menjadi
program-program baru yang belum pernah ada sebelumnya. Sustainabilitas
pendanaan dapat ditunjukkan oleh kemampuan sekolah dalam mempertahankan
besarnya dana yang dimiliki dan bahkan makin besar jumlahnya. Sekolah memiliki
kemampuan menggali sumberdana dari masyarakat, dan tidak sepenuhnya
menggantungkan subsidi dari pemerintah bagi sekolah-sekolah negeri.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Manajemen
Berbasis Sekolah atau School Based Management, School Based Decision Making and
Management oleh Hallinger dan Hausman (1992) didefinisikan sebagai pemberian
kewenangan kepada sekolah untuk bebas menata organisasi sekolah, manajemen
persekolahan, pengelolaan kelas, optimalisasi kerjasama (kepala sekolah,
orangtua dan guru) dan pemberian kesempatan yang kreatif dan inovarif kepada
sekolah. Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) adalah salah satu strategi wajib yang
Indonesia tetapkan sebagai standar dalam mengembangkan keunggulan
pengelolaan sekolah.
MBS merupakan
model aplikasi manajemen institusional yang mengintegrasikan seluruh
sumber internal dan eksternal dengan lebih menekankan pada
pentingnya menetapkan kebijakan melalui perluasan otonomi sekolah.
Sasarannya adalah mengarahkan perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi kebijakan
dalam rangka mencapai tujuan. Spesifikasinya berkenaan dengan visi, misi, dan
tujuan yang dikemas dalam pengembangan kebijakan dan perencanaan.
Dari beberapa pengertian diatas dapat
disimpulkan bahwa Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) adalah kebijakan pemerintah
yang diberikan masing-masing sekolah untuk mengelola dan mengoptimalkan
pendidikan di daerahnya sesuai dengan karakteristik di daerahnya masing-masing
dan keikutsertaan masyarakat dalam mewujudkan tujuan pendidikan.
Dalam MBS atau Menejemen Berbasis
Sekolah terdapat 3 komponen yang menyertainya diantaranya :
1.
Komponen MBS
2.
Tujuan MBS
3.
Karakteristik MBS
B.
Saran
Semoga dengan dibuatnya makalah
tentang MBS ini dapat memberikan manfaat bagi para mahasiswa selaku calon guru
agar kedepannya bisa menjadi seorang pendidik yang lebih baik lagi dalam
menciptakan generasi masa depan yang lebih berkualitas lagi dan semoga sebagai
calon pendidik ke depannya para mahasiswa dapat mencerdaskan kehidupan bangsa
melalui proses pembelajaran yang dilakukan.
DAFTAR PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar